Kamis, 10 Februari 2011

GEJOLAK MESIR

Gejolak Mesir : Masa Depan Israel-palestina dan Campur Tangan As

OPINI | 02 February 2011 | 02:18 1552 9 1 dari 1 Kompasianer menilai aktual




Demonstrasi di Mesir Menuntut Presiden Husni Mubarak Mundur –jaybodyinside.blogspot.com–
Tiba-tiba saja ada air yang langsung mendidih tanpa mengalami penghangatan terlebih dahulu. Lalu menggelegak, menjalar keluar teko layaknya lava panas yang siap meratakan setiap benda yang dilaluinya. Analogi ini layak disandingkan dengan keadaan Mesir pada saat ini. Dunia dan saya khususnya begitu terkejut dengan pemeberitaan bergejolaknya Mesir, sebab selama ini negara Piramid itu jauh dari kabar konflik pemerintahan. Setidaknya memang tak begitu terasa, berita yang memberitakan kekacauan di Mesir, sebelumnya.
Layaknya negara yang senyap dengan gonjang ganjing, maka perhatian dunia pun tidak akan di arahkan ke sana, Mesir. Berbeda sekali tentunya dengan Israel, Lebanon, Palestina, Korea Utara dan Selatan yang memang selalu menyedot perhatian dunia berkaitan dengan masalah-masalah yang terjadi di negara tersebut. Sepertinya awam tidak akan percaya dengan kenyataan ini, entah dengan mereka yang memiliki naluri intelijen atau bertugas sebagai intelijen. Mungkin mereka bisa memprediksi keadaan ini sebelumnya.
Keadaan ini tentu saja menjadi kontra diksi dengan pemberitaan sebelumnya dimana rakyat Mesir menginginkan Sang Presiden, terus memimpin Mesir. Karena pada kenyataannya keadaan Mesir saat ini berbanding terbalik dengan berita tersebut. Kesimpulan sementara, rakyat telah bosan dengan kepemimpinan otoriter Husni Mubarak.
Tapi, apa yang menjadi penyebab utama gejolak di Mesir sampai sekarang masih menjadi tanda tanya. Setidaknya, tidak ada pemberitaan yang benar-benar dapat menganalisa dengan persis apa penyebab chaos itu. Hanya dapat menerka-nerka, bahwa kemelut itu terjadi karena pemerintahan Mesir dipimpin oleh Presiden yang otoriter, dikatator dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Dengan gejolak yang telah meluas dan pengepungan kota oleh ratus ribuan massa, maka diyakini tampuk kepemimpinan Husni Mubarak tak akan bertahan lama.

Campur Tangan AS

Seperti dikutip dari AFP yang dilansir dari Daily Telegraph (29/2/2011) lalu, dari WikiLeaks disebutkan kawat diplomatik dari Kedubes AS di Kairo tertanggal 6 Desember 2007, The United States Agency for International Development (USAID) berencana untuk memberikan US$ 66,5 juta tahun 2008 dan US$ 75 juta di tahun 2009.
“Presiden Mubarak sangat skeptis pada peran AS dalam promosi demokrasi,” ujar salah satu kawat lain pada 9 Oktober 2007.
“Namun, program (pemerintah AS) membantu mendirikan lembaga-lembaga demokrasi dan memperkuat suara individu untuk perubahan di Mesir,” tambah tulisan di kawat itu.
AS, berkontribusi secara langsung untuk ‘membangun kekuatan yang melawan Presiden’ Mubarak. Uang yang digunakan AS untuk mempromosikan demokrasi bertujuan untuk menjalankan program yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir maupun warga sipil Mesir dan LSM AS yang di lapangan.
Menteri Kerjasama Internasional Fayza Aboulnaga telah mengirimkan surat pada Kedubes AS untuk meminta USAID menghentikan pendanaan pada 10 organisasi ‘atas dasar yang mana mereka tidak terdaftar sebagai LSM’, demikian bunyi kawat pada 28 Februari 2008. (detik.com).
Jika kawat yang dilansir oleh wikileaks ini benar adanya, maka semakin jelas lah bahwa kekacauan di dunia ini disebabkan oleh AS. Pemerintahan yang harus menganut sistem demokratis agar rakyat mendapat kesejahteraan dan keadilan adalah mimpi semu semata.
Rakyat biasa pada umumya tidak akan begitu peduli dengan siapa yang memerintah dan sistem apa yang digunakan, selama kesejahteraan masih terjamin. Karena demokrasi tak menjamin apa-apa selain kebebasan fiktif yang buram. Buram karena demokrasi hanya sebuah nama, rakyat tetap saja menderita. Indonesia mungkin menjadi salah satu contoh demokrasi yang kebablasan. Meski kebebasan itu telah ada, tetapi rakyatnya jauh dari kata sejahtera.
Namun meski rakyat tidak peduli dengan sistem pemerintahan dan siapa yang memimpin. Tapi selalu ada yang “peduli” dengan negara lain. Negara yang selalu “peduli” dengan pemerintahan negara lain adalah AS. Sama seperti “pedulinya” AS pada Korea Utara, Korea Selatan, Iran, dll. Maka kawat yang dilansir oleh Wikileaks sebelum konflik di Mesir ini, harusnya mendapat perhatian khusus.


SURAM NYA MASA DEPAN PERDAMAIAN DI PALESTINA -ISRAEL
  
Salah satu yang membuat Husni Mubarak menjadi semakin dikenal dunia ialah karena sikap netralnya terhadap konflik Israel-Palestina. Ia seringkali menjadi media bagi dialog antara kedua negara yang bertikai tanpa henti tersebut. Ketakberpihakannnya pada warga muslim Palestina bahkan sering dikecam oleh umat islam sendiri. Mesir, khususnya Husni Mubarak dituduh sebagai orang yang takut dengan AS karena Israel dibekingi oleh kekuatan AS.
Bila ternyata nanti Husni Mubarak memang lengser, maka masa depan perdamaian Israel-Palestina akan menjadi semakin suram. Sebab ketiadaan media dialog yang dianggap cukup netral dalam memandang konflik tersebu

yang terbaik untuk jogja

Polemik keistimewaan jogja belum juga kelihatan akan segera berakhir. Belum lama ini Mendagri Gamawan Fauzi malahan disemprot oleh anggota FPDIP Ario Bimo karena dianggap meremehkan hasil sidang istimewa rakyat jogja beberapa waktu lalu. Dalam sidang tersebut rakyat jogja yang diwakili oleh DPRD Jogja menginginkan penetapan Sultan sebagai Gubernur  Jogja dan menolak tawaran pemerintah untuk melakukan pemilihan. Belum  lama berselang, anggota fraksi partai demokrat, Ruhut Sitompul megatakan bahwa atas nama demokrasi beliau merasa kasihan kalau Sultan yang selalu menjadi gubernur maka Rakyat Jogja tidak akan pernah ada yang menjadi gubernur.
Saya masih ingat pernyataan mantan anggota partai pdip yang pindah ke Partai Gerindra, Permadi, yang mengatakan “Pemimpin haruslah orang kaya. Kalau tidak kaya dapat dipastikan bahwa dia akan korupsi”. sosok Sultan sangat sesuai dengan pernyataan tersebut. Sultan sudah kaya dan defaultnya sejak dahulu kala turun temurun adalah untuk mensejahterakan  rakyatnya. Selama ini jogja aman dan tentram dipimpin oleh sultan.
Mengatasnamakan demokrasi untuk melakukan pemilihan dan bukan penetapan demi kesejahteraan rakyat untuk saat ini kurang bijaksana. Yang tebaik untuk jogja adalah menjadikan Sultan sebagai gubernur. Saat ini sangatlah sulit mencari pemimpin yang sungguh-sungguh ingin mensejahterakan rakyat. Dengan mudah dapat dilihat dari berbagai pilkada yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Memilih opsi pemilihan gubernur di Jogja hanya akan menimbulkan kekacauan dan memecahbelah kesatuan Rakyat Jogja.
Terlalu mahal untuk mengorbankan situasi yang selama ini aman dan tentram untuk melakukan percobaan pemilihan atas nama demokrasi. Rakyat Jogja sudah berdemokrasi melalui sidang rakyat dan menginginkan penetapan Sultan sebagai gubernur. Pemerintah pusat seharusnya memperhatikan hal ini dan mengambil keputusan yang memperhatikan aspirasi Rakyat Jogja.

5 tersangka kasus kerusuhan



cikesik200 150x150 5 Tersangka Insiden Cikeusik, 2 Ditahan  Berita Terkini.us,- Polisi telah menetapkan 5 tersangka kasus kerusuhan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dari 5 tersangka tersebut, 2 di antaranya telah ditahan.”Sudah 5 tersangka dan 25 saksi hingga tadi malam. Dari 5 tersangka sementara 2 orang sedang ditahan, 3 orang belum ditahan karena menggali alat bukti pendukungnya. Tapi sudah ditetapkan sebagai tersangka juga,” kata Kabid Humas Polda Banten AKBP Gunawan saat dihubungi wartawan, Jumat (11/2/2011).
Menurut Gunawan, kelima tersangka tersebut berasal dari warga. “5 Orang tersangka ini semuanya dari warga,” imbuhnya.
Namun Gunawan membantah ada pembagian ‘amplop’ setelah serangan terhadap warga Ahmadiyah tersebut terjadi. “Setahu saya tidak ada,” ujarnya.
Sebelumnya, pihak kepolisian mengaku tidak menahan ketiga tersangka tersebut dengan alasan ada jaminan dari kuasa hukum para tersangka.
“Ada permohonan untuk tidak dilakukan penahanan dan ada jaminan oleh penasihat hukumnya,” kata Kasat Reskrim Polres Pandeglang AKP Dhani Gumelar saat dihubungi detikcom, Kamis (10/2/2011) malam.
Jaminan tersebut, Dhani menjelaskan, jika para tersangka siap untuk datang setiap saat jika polisi hendak melakukan pemeriksaan terhadap ketiganya. “Mereka wajib lapor,” kata Dhani.

Ahmadiyah dan Kelambanan Penguasa


Bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan jemaah Ahmadiyah pada Minggu 6 Februari lalu di kampung Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten mengakibatkan empat orang tewas dan sejumlah lainnya terluka. Kejadian tersebut mendapat sorotan banyak pihak, baik pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat dan LSM, bahkan pihak asing seperti AS yang mengecam penyerangan terhadap Ahmadiyah. Peristiwa itupun terjadi ketika tengah diselenggarakan “World Interfeith Harmony Week” oleh Inter Religious Council (IRC) di Istora Senayan, Jakarta,  yang bertujuan mendorong kerukunan dan toleransi serta mengakhiri pertikaian dan kekerasan antarumat beragama.

Terhadap kasus ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua pihak untuk mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah. Presiden SBY mengungkapkan, “Kalau kesepakatan itu diindahkan, dipatuhi, dan dijalankan, bentrokan seperti ini apalagi tindakan kekerasan, sesungguhnya dapat dicegah.” SKB yang dimaksud yaitu SKB (Surat Keputusan Bersama) Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/ Nomor: 199 Tahun 2008, ditetapkan di Jakarta pada 9 Juni 2008, yang ditandatangani Menag, Jaksa Agung dan Mendagri waktu itu.

Ini bukan kali pertama bentrokan antara masyarakat terjadi dengan Ahmadiyah. Kecaman pun demikian, selalu mengiringi setiap terjadi peristiwa serupa. Bahkan penguasapun tak ketinggalan mengeluarkan imbauan setiap selesai terjadi bentrokan. Persoalannya adalah, apakah kecaman dan imbauan itu menyelesaikan masalah?

Seolah pemerintah hanya bisa mengimbau, mengevaluasi tapi minus solusi dan langkah tegas. Wajar jika muncul anggapan bahwa pemerintah tidak konsisten dan tidak serius menyelesaikan gesekan fisik masyarakat dengan Ahmadiyah. Bahkan isu Ahmadiyah ini seakan telah menjadi komoditas politik dan kepentingan kelompok tertentu.

Adakah Politisasi?

Sesaat setelah peristiwa Cikeusik meletus, ada upaya tertentu untuk memblow-up peristiwa itu–ditambah lagi peristiwa Temanggung-untuk mengatakan buruknya toleransi kehidupan beragama di negeri ini. Umat Islam pun kembali menjadi tertuduh.

Peristiwa tersebut telah menjadi alasan bagi pihak-pihak tertentu yang selama ini menghendaki SKB tiga Menteri itu dicabut. Usulan pembubaran Ahmadiayah atau pembentukannya sebagai agama tersendiri di luar Islam, atau menjadi sebuah aliran kepercayaan, untuk menghindari adanya bentrokan di masa akan datang, dibenturkan dengan jargon kebebasan beragama, pluralisme, Pancasila dan NKRI.

Padahal jika kita mencermati, apa yang diusulkan oleh MUI dan beberapa kalangan dari organisasi Islam, merupakan upaya untuk menciptakan perdamaian dan toleransi serta untuk menjaga keutuhan masyarakat. Sementara itu, membiarkan Ahmadiyah dalam statusnya seperti selama ini, telah terbukti telah menimbulkan masalah dan akan mungkin bentrokan serupa di masa depan tak dapat dihindarkan.

Tentu masyarakat juga harus berpikir kritis dan bersikap waspada atas setiap manuver yang menjadikan umat Islam sebagai pihak tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan. Jangan sampai karena merasa tertuduh, umat justru terperangkap dalam jebakan kepentingan tertentu untuk merusak umat ini, merusak masyarakat.

Memahami Ahmadiyah

Dari masalah Ahmadiyah ini ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait potensi bentrok yang ditimbulkannya dalam kehidupan kaum muslim di Indonesia. Pertama, kelompok Ahmadiyah sebagai kelompok sesat—yang telah ditetapkan melalui fatwa MUI pada 1 Juni 1980/17 Rajab 1400H dan kembali ditegaskan pada 2005—tetap dibiarkan eksis dan mengklaim diri bagian dari Islam dan kaum muslim. Padahal kesesatan Ahmadiyah telah menjadi perkara yang disepakati (mujma’ alaihi) dan jelas.

Lebih awal, Rabithah Alam Islami (Lembaga Muslim Dunia) telah mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah pada 1974. Usaha dialog dan dakwah yang persuasif kepada mereka selama ini juga tidak dihiraukan dan jemaah Ahmadiyah tetap kukuh dengan keyakinan sesatnya yang menodai keyakinan umat Islam. Mereka pun tetap kukuh mengklaim bagian dari Islam dan umat Islam.

Kedua, keberadaan individu dan kelompok pengusung ide kebebasan (liberal) yang berkedok HAM dan Demokrasi, berusaha membela kelompok sesat Ahmadiyah. Keberadaan mereka bisa ikut andil melanggengkan masalah ini, bukan menyelesaikannya. Dalam koridor demokrasi, kelompok ini menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk bersikap tegas. Apalagi jika para penguasa, cara berpikirnya juga liberal, lebih memperhatikan citra agar dianggap seorang yang demokratis, moderat dan humanis sehingga dapat meraih dukungan dari pihak asing (barat).

Ketiga, ketidaktegasan pemerintah. SKB tidak dijalankan dan dilanggar, tetapi tidak ada tindakan. Pemerintah pun tidak tegas memosisikan Ahmadiyah, padahal telah jelas menyimpang dan di luar Islam. Di sinilah pemerintah terlihat lalai bahkan gagal melindungi keyakinan mayoritas umat Islam. Masalahnya di sini adalah penistaan terhadap agama. Bukan perbedaan tafsir semata.

Yang dibutuhkan adalah kejelasan dan ketegasan pemerintah. Pemerintah hanya punya dua pilihan. Pilihan pertama, membiarkan Ahmadiyah seperti semula. Pilihan ini sangat berbahaya. Itu artinya masalah Ahmadiyah akan terus terjadi. Bahkan justru akan mengakumulasi rasa ketidakadilan dan ketersinggungan mayoritas umat Islam Indonesia yang merasa akidahnya dinodai kelompok Ahmadiyah. Masalah itu akan menjadi bara dalam sekam, sisa menunggu pemantiknya bisa berkobar makin liar dan tentu akan sangat merugikan bagi kehidupan masyarakat.

Pilihan kedua, bubarkan Ahmadiyah dan jika Ahmadiyah tetap ngotot dengan pendiriannya, maka pemerintah dengan dukungan mayoritas umat Islam bisa menetapkan Ahmadiyah bukan lagi bagian dari Islam dan jemaahnya bukan orang Islam.

Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi pada Senin 7 Februari mengatakan, Ahmadiyah sebaiknya menjadi agama sendiri yang berada di luar Islam. Sebab, ajaran itu bermasalah karena mengatasnamakan Islam tetapi tidak sesuai ajaran pokok Islam. “Seandainya Ahmadiyah menjadi agama sendiri, maka Ahmadiyah itu dalam posisi menjalani hak sebagai warga negara dalam beragama.” Ia menegaskan, “Penodaan agama itu berbeda dengan kebebasan beragama. Ini kadang orang tidak bisa membedakan.”

Kunci penyelesaian masalah ini bergantung kepada keberanian dan ketegasan pemerintah mengimplementasikan SKB yang ada. Jangan sampai pemerintah bersikap hipokrit. Satu sisi, dalam SKB jemaah Ahmadiyah dinilai beraliran sesat dan tidak boleh menyebarkan keyakinan mereka kepada umat Islam dan bila melanggar akan dikenakan sanksi. Jika masih membandel akan dibubarkan. Tapi, ketika MUI dan masyarakat sudah melaporkan bahwa sampai saat ini jemaah Ahmadiyah masih menjalankan keyakinannya dan tidak berubah sama sekali, pemerintah tidak merespons dan mengambil tindakan semestinya. Tentu ini melahirkan kekecewaan umat.

Maka yang ditunggu masyarakat, khususnya umat Islam, hingga saat ini adalah bukti dan realisasi dari SKB. Bukan sekadar imbauan. Penguasa harus tegas dan tidak boleh bimbang apalagi lamban dalam bertindak. (*)
. (*)