Kamis, 10 Februari 2011

Ahmadiyah dan Kelambanan Penguasa


Bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan jemaah Ahmadiyah pada Minggu 6 Februari lalu di kampung Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten mengakibatkan empat orang tewas dan sejumlah lainnya terluka. Kejadian tersebut mendapat sorotan banyak pihak, baik pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat dan LSM, bahkan pihak asing seperti AS yang mengecam penyerangan terhadap Ahmadiyah. Peristiwa itupun terjadi ketika tengah diselenggarakan “World Interfeith Harmony Week” oleh Inter Religious Council (IRC) di Istora Senayan, Jakarta,  yang bertujuan mendorong kerukunan dan toleransi serta mengakhiri pertikaian dan kekerasan antarumat beragama.

Terhadap kasus ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua pihak untuk mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah. Presiden SBY mengungkapkan, “Kalau kesepakatan itu diindahkan, dipatuhi, dan dijalankan, bentrokan seperti ini apalagi tindakan kekerasan, sesungguhnya dapat dicegah.” SKB yang dimaksud yaitu SKB (Surat Keputusan Bersama) Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/ Nomor: 199 Tahun 2008, ditetapkan di Jakarta pada 9 Juni 2008, yang ditandatangani Menag, Jaksa Agung dan Mendagri waktu itu.

Ini bukan kali pertama bentrokan antara masyarakat terjadi dengan Ahmadiyah. Kecaman pun demikian, selalu mengiringi setiap terjadi peristiwa serupa. Bahkan penguasapun tak ketinggalan mengeluarkan imbauan setiap selesai terjadi bentrokan. Persoalannya adalah, apakah kecaman dan imbauan itu menyelesaikan masalah?

Seolah pemerintah hanya bisa mengimbau, mengevaluasi tapi minus solusi dan langkah tegas. Wajar jika muncul anggapan bahwa pemerintah tidak konsisten dan tidak serius menyelesaikan gesekan fisik masyarakat dengan Ahmadiyah. Bahkan isu Ahmadiyah ini seakan telah menjadi komoditas politik dan kepentingan kelompok tertentu.

Adakah Politisasi?

Sesaat setelah peristiwa Cikeusik meletus, ada upaya tertentu untuk memblow-up peristiwa itu–ditambah lagi peristiwa Temanggung-untuk mengatakan buruknya toleransi kehidupan beragama di negeri ini. Umat Islam pun kembali menjadi tertuduh.

Peristiwa tersebut telah menjadi alasan bagi pihak-pihak tertentu yang selama ini menghendaki SKB tiga Menteri itu dicabut. Usulan pembubaran Ahmadiayah atau pembentukannya sebagai agama tersendiri di luar Islam, atau menjadi sebuah aliran kepercayaan, untuk menghindari adanya bentrokan di masa akan datang, dibenturkan dengan jargon kebebasan beragama, pluralisme, Pancasila dan NKRI.

Padahal jika kita mencermati, apa yang diusulkan oleh MUI dan beberapa kalangan dari organisasi Islam, merupakan upaya untuk menciptakan perdamaian dan toleransi serta untuk menjaga keutuhan masyarakat. Sementara itu, membiarkan Ahmadiyah dalam statusnya seperti selama ini, telah terbukti telah menimbulkan masalah dan akan mungkin bentrokan serupa di masa depan tak dapat dihindarkan.

Tentu masyarakat juga harus berpikir kritis dan bersikap waspada atas setiap manuver yang menjadikan umat Islam sebagai pihak tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan. Jangan sampai karena merasa tertuduh, umat justru terperangkap dalam jebakan kepentingan tertentu untuk merusak umat ini, merusak masyarakat.

Memahami Ahmadiyah

Dari masalah Ahmadiyah ini ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait potensi bentrok yang ditimbulkannya dalam kehidupan kaum muslim di Indonesia. Pertama, kelompok Ahmadiyah sebagai kelompok sesat—yang telah ditetapkan melalui fatwa MUI pada 1 Juni 1980/17 Rajab 1400H dan kembali ditegaskan pada 2005—tetap dibiarkan eksis dan mengklaim diri bagian dari Islam dan kaum muslim. Padahal kesesatan Ahmadiyah telah menjadi perkara yang disepakati (mujma’ alaihi) dan jelas.

Lebih awal, Rabithah Alam Islami (Lembaga Muslim Dunia) telah mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah pada 1974. Usaha dialog dan dakwah yang persuasif kepada mereka selama ini juga tidak dihiraukan dan jemaah Ahmadiyah tetap kukuh dengan keyakinan sesatnya yang menodai keyakinan umat Islam. Mereka pun tetap kukuh mengklaim bagian dari Islam dan umat Islam.

Kedua, keberadaan individu dan kelompok pengusung ide kebebasan (liberal) yang berkedok HAM dan Demokrasi, berusaha membela kelompok sesat Ahmadiyah. Keberadaan mereka bisa ikut andil melanggengkan masalah ini, bukan menyelesaikannya. Dalam koridor demokrasi, kelompok ini menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk bersikap tegas. Apalagi jika para penguasa, cara berpikirnya juga liberal, lebih memperhatikan citra agar dianggap seorang yang demokratis, moderat dan humanis sehingga dapat meraih dukungan dari pihak asing (barat).

Ketiga, ketidaktegasan pemerintah. SKB tidak dijalankan dan dilanggar, tetapi tidak ada tindakan. Pemerintah pun tidak tegas memosisikan Ahmadiyah, padahal telah jelas menyimpang dan di luar Islam. Di sinilah pemerintah terlihat lalai bahkan gagal melindungi keyakinan mayoritas umat Islam. Masalahnya di sini adalah penistaan terhadap agama. Bukan perbedaan tafsir semata.

Yang dibutuhkan adalah kejelasan dan ketegasan pemerintah. Pemerintah hanya punya dua pilihan. Pilihan pertama, membiarkan Ahmadiyah seperti semula. Pilihan ini sangat berbahaya. Itu artinya masalah Ahmadiyah akan terus terjadi. Bahkan justru akan mengakumulasi rasa ketidakadilan dan ketersinggungan mayoritas umat Islam Indonesia yang merasa akidahnya dinodai kelompok Ahmadiyah. Masalah itu akan menjadi bara dalam sekam, sisa menunggu pemantiknya bisa berkobar makin liar dan tentu akan sangat merugikan bagi kehidupan masyarakat.

Pilihan kedua, bubarkan Ahmadiyah dan jika Ahmadiyah tetap ngotot dengan pendiriannya, maka pemerintah dengan dukungan mayoritas umat Islam bisa menetapkan Ahmadiyah bukan lagi bagian dari Islam dan jemaahnya bukan orang Islam.

Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi pada Senin 7 Februari mengatakan, Ahmadiyah sebaiknya menjadi agama sendiri yang berada di luar Islam. Sebab, ajaran itu bermasalah karena mengatasnamakan Islam tetapi tidak sesuai ajaran pokok Islam. “Seandainya Ahmadiyah menjadi agama sendiri, maka Ahmadiyah itu dalam posisi menjalani hak sebagai warga negara dalam beragama.” Ia menegaskan, “Penodaan agama itu berbeda dengan kebebasan beragama. Ini kadang orang tidak bisa membedakan.”

Kunci penyelesaian masalah ini bergantung kepada keberanian dan ketegasan pemerintah mengimplementasikan SKB yang ada. Jangan sampai pemerintah bersikap hipokrit. Satu sisi, dalam SKB jemaah Ahmadiyah dinilai beraliran sesat dan tidak boleh menyebarkan keyakinan mereka kepada umat Islam dan bila melanggar akan dikenakan sanksi. Jika masih membandel akan dibubarkan. Tapi, ketika MUI dan masyarakat sudah melaporkan bahwa sampai saat ini jemaah Ahmadiyah masih menjalankan keyakinannya dan tidak berubah sama sekali, pemerintah tidak merespons dan mengambil tindakan semestinya. Tentu ini melahirkan kekecewaan umat.

Maka yang ditunggu masyarakat, khususnya umat Islam, hingga saat ini adalah bukti dan realisasi dari SKB. Bukan sekadar imbauan. Penguasa harus tegas dan tidak boleh bimbang apalagi lamban dalam bertindak. (*)
. (*)

Tidak ada komentar: